Kalianda (12/03) Sebelum masa Islam, bumi Mekah di dominasi
oleh dua klan (kabilah) besar yang saling bersaing, yakni Bani Hasyim (nenek
moyang Rosululloh SAW) yang mayoritas peternak dan Bani Umayyah (nenek moyang
Muawiyah bin Abu Sofyan) yang mayoritas saudagar. Sebenarnya keduanya adalah
satu keturunan, silsilahnya bertemu pada Abdi Manaf bin Qusai bin Kilaf
(keturunan Nabi Ismail AS).
Konflik keduanya bermula dari perebutan
kekuasaan atas pengurusan ka’bah dan jamaah haji, baik sebagai rifadah (pemberi
makan jamaah haji), maupun siqoyah (pemberi minum jamaah haji), karena semua
itu dianggap sebagai posisi paling bergengsi di lingkungan masyarakat Mekah.
Dan kaum hasyimi senantiasa berhasil memenangkan kompetisi ini. Karena mereka
diangap lebih bijak dan egaliter.
Hingga pada Muharram 570 M (55 hari sebelum
kelahiran baginda nabi SAW), saat panglima Abrahah (dari kerajaan Habasyah di
benua Afrika) dengan 60.000 pasukan dan 13 ekor gajah, hendak menghancurkan
ka’bah. Masyarakat mempercayakan bani Hasyim untuk mengambil peran. Disinilah
keutamaan Abdul Mutholib sebagai tokoh sentral diuji atas tanggung jawab,
kepedulian kebijaksanaan dan keberanianya. Ia tampil sebagai negosiator yg
mewakili komunitas mekah.
Meskipun tidak berhasil sepenuhnya dalam
mengemban misi diplomasi ini, Abdul Mutholib berhasil memperjuangkan dua hal
yang sangat strategis. Pertama, berhasil menuntut pengembalian atas harta,
tawanan dan ternak yang di jarah oleh pasukan Abrahah, karena ini menyangkut
resorces (potensi) yang dapat menjamin keberlangsungan hidup masyarakatnya,
kedua, ia berhasil mengulur waktu, sehingga memiliki kesempatan yang cukup
untuk memobilisasi penduduk agar menyelamatkan diri ke atas perbukitan
disekitar mekah.
Tanda kemuliaanya tidak berhenti sampai
disitu. Setelah seluruh penduduknya berhasil dievakuasi ke tempat yang aman,
mereka menyaksikan dengan mata kepala sendiri,
bagaimana Alloh SWT memusnahkan pasukan Abrahah. Sementara penduduk mekah
yang berada tidak jauh dari lokasi itu dapat selamat dari bencana dasyat itu.
Peristiwa ini serupa dengan yang terjadi pada
1000 tahun sebelumnya, ketika Nabi Musa As, berhasil menyelamatkan pengikutnya
menyebrangi lautan dan "mengajak" mereka menyaksikan dengan mata
kepala sendiri bagaimana pasukan Firaun di musnahkan oleh Alloh SWT. (QS Asy
Syu’araa’: 53-68)
Sebagaimana Ibrahim, begitu pula yang
dilakukan Abdul Mutholib, Itulah sebabnya sehingga ia diberi gelar IBRAHIM II.
Tidak hanya itu, Kakek baginda nabi ini terkenal sangat bijaksana, karena
selalu hadir dalam menyelesaikan persoalan dilungkungannya.
Hingga pada masa berikutnya, posisi Bani
Hasim dan keturunannya, semakin kokoh di hati masyarakat Mekah. Bahkan kekuatan
historis (masa lalu) ini, masih terasa hinga dua generasi berikutnya (masa
Islam).
Ternyata Buah dari segala kerja keras,
kepedulian dan pembelaan pada umat, serta semua yang dilakukan Abdul Mutholib
pada masa itu, menjadi sangat bermanfaat bagi dakwah Islam masa berikutnya. Hal
ini tercermin dari penghormatan bangsa quraisy pada kalangan Hasyimi termasuk
Rosululloh SAW, pembelaan dan jaminan
keamanan pada islam dari ancaman dan tekanan orang-orang kafir.
Meskipun setelah Abu Tholib wafat, puncak
kepemimpinan Bani Hasyim jatuh ke tangan Abu Lahab. Dan itu pula yang
menyebabkan Rosululloh SAW sangat terpukul dan mengalami kesedihan yang
mendalam.
Dan bagi kita saat ini, tampilnya kader
sebagi "penyelamat umat" dari "bencana besar", menjadi
penggerak agenda berkhidmat pada masyarakat adalah sebuah amanah agung dan
warisan mulia dari generasi pilihan. Hal ini senada dengan firman Alloh SWT,
" Kalian adalah Umat yang terbaik, yang dilahirkan untuk manusia, mempelopori
dalam berbuat makruf dan mencegah kemunkaran..." (QS .....)
Dengan demikian, segala upaya seperti
menolong yang lemah, membantu yang miskin, mengobati yang luka, mengingatkan yang lupa, meluruskan yang
bengkok, mendamaikan yang berseteru, mengumpulkan yang terserak, memaafkan yang
salah, menjenguk yang sakit, takziyah, mendoakan yang bersin, menjawab salam,
menyapa, tersenyum, menyambung silaturrahmi, shodaqoh merekrut, membina dan
masih banyak amal sholeh lainnya. Semua itu adalah identitas dakwah kita hari
ini, sekaligus kontribusi kita pada gelombang besar dakwah masa yang akan
datang.
Sebagaimana sabda Rosululloh SAW , "
Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak manfaatnya bagi manusia yang
lain". Semoga Alloh SWT berkenan menggandakan timbangan hasanah kita, atas
partisipasi kecil dalam gelombang besar membangun peradaban Islam, insyaalloh.
Refrensi
1. Departemen Agama RI, ’Al Quran &
Terjemah", Jakarta, 1971.
2. Syekh Syafiurrohman Mubarokfuri, "
Perjalanan hidup Rosul yang Agung", (Terj) Mulia Sarana, Jakarta, 2001.
3. Dr. Ramadhan Al Buthy, " Siroh
Nabawiyah", (Terj) Robbani Press, Jakarta, 1999.
4. Syekh M. Al Ghozali, " Fiqush
Shiroh" (Terj), Media Insani, Solo, 2005.
5. Sa’id Hawwa, " Ar Rosul" (Terj), Pustaka Mantiq, Solo, 1999.
6. Sumber lain dari Internet...
Sumber : Mas TOP (Muhammad taufiq / Wakil Ketua DPD PKS Lampung Selatan)
Posting Komentar