Mohamad Hamas ElMasry
Assistant Professor, Department of Journalism and Mass Communication, The American University in Cairo
Egyptian undemocratic liberals
Di Mesir, seperti dalam kebijakan luar negeri Amerika, sebagaimana yang
kita ketahui (dobel-standar, ambigu), situasi politik dibuat rumit oleh
pengkhianatan secara jelas atas prinsip-prinsip demokrasi oleh banyak
dari mereka yang mengaku liberalisme sebagai ideologi politik pilihan
mereka.
Mari kita mengambil perjalanan singkat ke dalam politik Mesir baru-baru
ini untuk melihat bagaimana kalangan "liberal" menyerang demokrasi.
Pada bulan Juni, Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata Mesir (SCAF) dan
peradilan yang sebagian besar terdiri dari pejabat yang diangkat oleh
Hosni Mubarak bekerja sama untuk membubarkan Parlemen Mesir pertama yang
terpilih secara demokratis.
Pasti seseorang akan berpikir bahwa (pembubaran parlemen) ini merupakan
sebuah tamparan keras bagi setiap pecinta revolusi dan demokrasi.
Tamparan bagi kalangan revolusioneris yang telah berjuang menumbangkan
rezim Mubarak.
Namun, banyak kaum "liberal" Mesir yang tidak keberatan dengan keputusan
pembubaran parlemen itu. Beberapa bahkan terang-terangan memuji
pembubaran parlemen yang telah diplih secara demokratis itu. Kenapa?
Karena Parlemen Mesir (DPR) didominasi oleh kalangan Islam, dan banyak
kaum "liberal" tidak bisa menerima hidup dengan Parlemen yang dipimpin
kalangan Islamis selama empat tahun. Singkatnya, "liberal" membenci
kalangan Islam yang menyebabkan mereka mengkhianati prinsip-prinsip
demokrasi mereka.
Narasi ini tidak akan terdengar aneh bagi siapa pun yang akrab dengan
kebijakan luar negeri Amerika, yang telah menyaksikan AS turut andil
menggulingkan (berusaha menggulingkan) pemerintahan yang terpilih secara
demokratis, seperti di Palestina, Guatemala, Iran dan Brazil, di antara
tempat-tempat lain, karena pemilih -menurut pendapat Gedung Putih-
telah salah pilih.
Banyak kalangan "liberal" Mesir, sama seperti pemerintahan Amerika,
tampaknya tidak memahami pesan bahwa, dalam demokrasi, siapa yang
mendapat mayoritas itulah yang menjadi pemenang, siapapun itu tak
terkecuali jika mereka dari kalangan Islam. Meyakini ‘demokrasi
eksklusif’ – menjunjung demokrasi kalau pihaknya yang menang, tapi
menolak demokrasi kalau kalah- itu bukanlah seorang demokrat.
Baru-baru ini, pada bulan Juli, ketika Presiden Mohamed Morsy yang baru
terpilih membuat langkah untuk mengembalikan Majelis Rakyat (parlemen)
yang dibubarkan, banyak kaum "liberal" yang hanya mengangkat bahu
(cuek). Beberapa bahkan jelas tidak mendukung.
Pada bulan Agustus, Morsy, berusaha memenuhi tuntutan penting kaum
revolusioner, yakni mengganti Jaksa Agung, pejabat yang dulu diangkat
oleh Mubarak. Dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan. Tapi, sekali
lagi, langkah Morsy ini malah dicegah. Dan, sekali lagi, liberal Mesir
tidak berkata dan tidak melakukan apa-apa.
Baru-baru ini, dan ini mungkin ‘kasus’ yang paling penting, kelompok
demokratis yang bertugas menulis ‘konstitusi baru’ telah diancam oleh
dua pihak sekaligus: Mahkamah Konsitutusi (yang berisi antek Mubarak
-ed) dan kekuatan politik liberal. Laporan menunjukkan MK akan
membubarkan Majelis Konstitusi, disaat mereka tinggal ‘sentuhan akhir’
pada penyelesaian konstitusi baru Mesir.
Dan sekitar 20 dari 54 anggota non-Islamis di Majlis Konstitusi -yang
beranggotak 100 orang- mereka ‘melompat kapal’ keluar dari keanggotaan,
mengeluh pengaruh Islam banyak sekali pada isi konstitusi yang ditulis.
Alasan pengunduran diri ini janggal karena kenyataan, menurut laporan
terpercaya baik dari dalam dan luar Komite, mayoritas artikel dalam
draft baru konstitusi itu telah disepakati baik oleh para Islamis dan
liberal, bahkan kalangan Islam konservatif (salafi) ‘mengalah’ dari
tuntutan pasal-pasal agama yang selama ini mereka perjuangkan untuk
ditulis di konstitusi.
Baru-baru ini, sumber yang dapat dipercaya juga telah mengkonfirmasi
bahwa kaum liberal yang ‘melompat kapal’ itu bukan disebabkan karena
alasan ‘marah’ dengan isi konstitusi, tetapi (alasan sesungguhnya
adalah) fakta bahwa sebagian besar (mayoritas) anggota Majlis Konstitusi
tidak setuju dengan tuntutan kaum liberal yang mengusulkan agar masa
pemerintahan Presiden Morsy otomatis berhenti setelah Konstitusi baru
nantinya diberlakun dan pemilihan presiden baru dapat diadakan kembali.
Tokoh sosialis liberal dan mantan capres Hamdeen Sabbahi, secara terbuka
menyuarakan bahwa fokus utama kalangan "liberal" pada Oktober adalah
menuntut Morsy untuk mundur setelah selesainya dan disahkannya
konstitusi baru, sementara, dalam napas yang sama, ia mengakui bahwa ia
tidak akan pernah menerima ‘tuntutan mundur’ seandainya ia yang menang
pilpres saat itu.
Jika upaya kalangan "liberal" ini dirasa belum cukup berhasil untuk
membatasi masa jabatan Morsy, sebuah ancaman yang kredibel telah muncul
baru-baru ini bahwa peradilan akan memerintahkan untuk membatalkan
deklarasi konstitusi Morsy pada bulan Juli dan mengembalikan Deklarasi
SCAF (Dewan Militer) sebelumnya (yang berisi membatasi kekuasaan
presiden dan memberi SCAF otoritas berkuasa atas Konstitusi) dan
membubarkan Majlis Shura (MPR), majelis tinggi parlemen yang telah
dipilih secara demokratis.
Setelah Majelis Rakyat (DPR) dibubarkan (oleh MK), adanya upaya
penolakan pergantian Jaksa Agung, dan ancaman untuk membubarkan Majelis
Konstituante dan Dewan Syura (MPR), serta adanya upaya mengembalikan
kekuasaan ke tangan militer SCAF; Presiden Morsy hanya memiliki sedikit
‘pilihan’ untuk menyelamatkan institusi-institusi Mesir yang telah
terpilih secara demokratis itu dan melanjutkan proses membangun
konstitusi baru. (Untuk itulah Morsy mengeluarkan dekrit)
Bisa ditebak, banyak kalangan "liberal" Mesir mengeluh bahwa langkah
Morsy – yang mengeluarkan dekrit - membuktikan bahwa dia adalah seorang
diktator Mubarak gaya baru. Dekrit-nya, pada kenyataannya, dijadikan
amunsi kalangan liberal untuk menyingkirkan Mursi dari kekuasaan atau
paling tidak membatasi kekuasaannya.
Kekhawatiran "Liberal"atas akan adanya "kediktatoran" Morsy ini agak
sedikit membingungkan, mengingat kalangan "liberal" justru mendukung
kekuasaan absolut SCAF (militer).
Sementara itu tokoh-tokoh "liberal” Mesir, seperti Mohamed ElBaradei,
yang pernah menyarankan perpanjangan masa kekuasaan SCAF, tidak memiliki
kekhawatiran bahwa penumpukan kekuasaan legislatif dan eksekutif
dibawah militer SCAF akan disalahgunakan. (Tapi mereka khawatir terhadap
Morsy yang terpilih secara demokratis).
Keributan baru-baru ini atas Keputusan Presiden Morsy (dekrit) telah
meluas menjadi ajakan terbuka untuk membakar kantor-kantor Ikhwanul
Muslimin, memberontak melawan Morsy, dan melibatkan intervensi
negara-negara barat, begitulah ulah "liberal".
Agar adil, memang ada kalangan liberal ‘yang fair’ di Mesir, salah
satunya Mohamed Al-Omdah, yang baru-baru ini mengecam keras Sabbahi
atas sikap dan posisi anti-demokrasinya. (Mohamed Al-Omdah dulu
salahsatu timses capres Sabbahi).
Tentu saja, tak seorang pun, kecuali Morsy dan lingkaran dalamnya, yang
tahu pasti apakah presiden pertama Mesir yang terpilih secara demokratis
ini memang menginginkan sebuah kediktatoran gaya Mubarak, atau bahkan
lebih buruk. Namun akan bijaksana -dan lebih demokratis – bagi semua
untuk menunggu batas waktu pemberlakuan dekrit Morsy sebelum membuat
klaim dan menuduh "firaun" dan "diktator." Jika, dalam tiga atau empat
bulan, ternyata Morsy mempermanenkan dekrit dan kekuasaan absolutnya,
maka kalangan "liberal" akan mendapat dukungan dari mayoritas rakyat
Mesir untuk memulai people power dan sah secara prinsip demokratis. Dan
saya akan menjadi yang pertama memulai perlawanan terhadap Morsy itu.
Dari gambaran itu semua, sekarang tampak gamblang dan sangat jelas
bahwa: Banyak kaum "liberal" yang justru menginginkan pembubaran Majelis
Rakyat yang terpilih secara demokratis, mengakhiri masa presiden yang
dipilih secara demokratis (hampir sebelum masa jabatannya dimulai), dan
menghambat proses pembentukan konstitusi, dan itu semua sama saja
membawa proyek demokratisasi Mesir kembali ke titik nol.
Begitulah kaum liberal, bukannya mematangkan dan mempersiapkan diri
untuk meraih kemenangan di pemilu mendatang, mereka malah mencoba
cara-cara ilegal, tak etis, dan tidak demokratis untuk merebut
kekuasaan.
Menyedihkan kedengarannya, namun realitas kontemporer Mesir menunjukan
hal begini: Ada kalangan Mesir yang sangat respek dengan demokrasi, dan
merekalah justru dari kalangan islamis. Bobby Ghosh dari Majalah Time
benar adanya ketika, pada 2011, ia mengatakan bahwa ‘kalangan Islamis
adalah demokrat Mesir terbaik’ (Islamists are Egypt’s best democrats).
Namun sebaliknya, banyak liberal Mesir, di sisi lain, mereka masih jauh
dari persyaratan sebelum mereka sah dapat menyebut diri mereka demokrat.
Dan saat ini, mereka malah "menghalangi demokrasi" - meminjam istilah
Noam Chomsky - dengan cara yang sama sekali tidak berbeda dari rezim
Amerika.
As sad as it may sound, the contemporary reality in Egypt is this: There are some in Egypt who respect democracy, and they are largely Islamists. Bobby Ghosh of Time Magazine was correct when, in 2011, he said that Islamists are Egypt’s best democrats.
Many of Egypt’s liberals, on the other hand, have a long way to go before they can legitimately call themselves democrats. For now, they are “deterring democracy” – to borrow from Noam Chomsky – in ways not altogether dissimilar from those of successive American administrations.
إرسال تعليق